Senin, 26 Juni 2017

Putri Tirani

Apakah kamu pernah berpikir
bahwa mereka
tak akan melepaskanmu walau sejengkal
tak akan merelakanmu walau sekejap
karena mereka sadar
ketakutan mereka
telah merenggut
seluruh orang yang bisa menolongmu kelak

Karena itulah mereka menjadikan diri mereka
korban atas langkah mereka
walaupun tak mungkin akan menebusmu dari vonis kesendirian di masa depan

Jadi
ketakutan beranak ketakutan
mencengkram

Rabu, 14 Juni 2017

Tukang Bakso, Tukang Parkir, dan Pencari Kode Promo

Siang itu cukup panas. Gadis itu merasa ia dapat berubah menjadi vampir dan memangsa kapan saja. Untungnya tabir surya menangkal hasratnya itu, walaupun tabir surya tak mampu menangkal hiruk-pikuk sekitar yang menambah riuh kerusuhan pikirannya sendiri. Bahkan topi pantai lebar yang tak cukup serasi dengan terusan katun berkancingnya itu tak mampu mendistorsi gadis itu dari dunia luar yang sedang ingin ia... tinggalkan.

Berjalan dengan sepatu Yeezy tiruan pemberian seorang tiran dalam hidupnya, ia sibuk berkutat dengan layar 5,5 inci berbalut Pikachu yang ditangkapnya di suatu kios Pasar Atom seharga Rp 75.000,-. Teringat olehnya sesaat setelah mendapatkannya, kios lain juga menjuanya seharga Rp 50.000,-. Namun tak ada ukuran untuk tipe miliknya, jadilah ia berpikir, mungkin kecocokan adalah harga yang lebih mahal.

Hewan kuning—atau tokoh kuning itu tak pernah meliat ke dalam; ke layar, ia hanya menatap sekitar dan terkadang sekitar balik menatapnya. Ia tak pernah tahu di layar itu, sedang terjadi pertarungan sengit, antara Grab dan Uber. Saling menawarkan harga termurah dan kode promo termudah.

Dengan selisih angka cukup jauh, pertarungan yang terjadi di balik punggung Pikachu itu dimenangkan oleh Uber, dengan selisih angka seharga seporsi bakso. Mata gadis itu menyisir sekitar, memandang ke arah jalan raya, mencari tumpangan yang telah dipesannya. Alih-alih menemukan tumpangannya, matanya tertumbuk pada suatu objek, dengan asap mengepul dan botol-botol saus,  dan bola-bola daging berbagai ukuran.

“Bakso!”

Ia segera berjalan menyebrangi jalan itu melalui punggung zebra datar pas di depan pohon rindang tempat tukang parkir duduk termangu. Topi lebarnya ia tarik lebih rendah untuk menutup wajah immortalnya. Hanya butuh dua langkah ke kanan untuk menghidup kepulan asap kaldu yang menggirukan.

“Bang, bakso satu ya!” katanya sambil memantau pergerakan tumpangannya melalui GPS.

“Bungkus atau makan sini?” tanya si abang bakso yang sekilas terlihat menggunakan peci rajut berwarna putih.

“Bungkus, tanpa kol ya bang!” jawabnya tak lepas dari pandangan ke layarnya.

“Siap neng!”

GPS menunjukkan sekitar  lima menit lagi tumpangannya akan sampai. Terdengar keriuhan yang tak terdengar jelas di sekitarnya dan ia ingin segera pergi dari sana, menuju ke kamarnya, tenggelam dalam aroma kuah bakso dan pikirannya sendiri. Entah sudah berapa lama ia tidak merasakan makanan ini. Padahal dulu sekali, kala ia sakit, baksolah asupan  gizinya setiap hari. Mulai dari bakso ikan dari depot “Kita”, bakso “Hompimpa” di seberang apartemen, atau bakso beku “Bernardi” yang selalu dicampur sayur beku pula. Dahulu ia bleneg setengah mati, sekarang ia rindu setengah hidup. Tak disangka ia menemukannya tanpa dicari. Ia mengangkat kepalanya, meneliti butiran-butiran bakso yang tersusun rapi dengan mie dan su-un di rak bawahnya. Lalu ada daun bawang dan kol putih yang ia benci. Di dekat panci, berjejer botol-botol saus mulai dari saus sambal, saus toat, kecap asin bermerek limun, dan kecap manis bermerek kenangan mantan.
Peh, mungkin pabrik itu kehabisan nama, pikirnya.

Pandangannya beralih ke arah jalan dan menemukan tumpangannya sudah dekat.

“Ini mbak baksonya!”

Ia segera mengambil dompet, mengeluarkan pecahan sepuluh ribu, mengambil pesanannya dan menatap layar untuk memastikan plat nomor tumpangannya itu.

“Makasih bang!” katanya seraya melihat nama supir tumpangannya. Revis? Nama yang cukup keren untuk seorang supir. Langkah kakinya berhenti di pintu belakang mobil dan masuk ke dalamnya.

“Pak Revis?”
“Ya, mbak Keina ya?”
“Iya.”
“Oke.”

Supir langsung menurunkan rem tangan dan menancap gas. Namun tak sampai bergerak lima meter, tukang parkir yang tadinya duduk di bawah pohon, meniupkan peluitnya dari samping gerobak bakso. Gadis itu melengos, betapa mudahnya hidupmu, duhai tukang parkir. Mobil itu tetap berjalan dan tak menghiraukan suara prat-prit peluit tukang parkir ataupun tukang bakso.

Tukang bakso? Ia terlihat berlari ke arah mobil yang ditumpangi gadis itu dan berteriak, “Hei belum bayar neng!”

Gadis itu menoleh ke belakang, bingung dengan tukang bakso yang merasa baksonya belum dibayar. Namun ia berpikir, mengapa di awal tukang bakso memanggilnya neng, dan di akhir memanggilnya mbak?

Segera ia menyadari, ia membayar bakso itu bukan ke tukang bakso, melainkan tukang parkir.

Tukang parkir tertawa.

Tukang bakso mengikhlaskan seporsi baksonya yang raib dan kembali ke gerobak miliknya, tukang parkir kembali duduk di bawah pohon rindang, bangga akan dirinya.

Dan pada akhirnya tak ada yang mampu mengejar gadis itu, kecuali ia sendirilah yang memilih untuk kembali.