Kamis, 27 September 2018

Resensi Kota ini Kembang Api: Pendar Cahaya Langit Kata-kata

"... berjalan menuju mentari, aku hanya seonggok bayang"

Judul: Kota ini Kembang Api
Penulis: Gratiagusti Chananya Rompas
Desainer sampul dan ilustrasi: Adiputra Singgih
Tebal: 104 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama: Desember 2016
ISBN: 9786020334042


"Kota ini Kembang Api" merupakan sebuah buku puisi dengan mayoritas berbau kegalauan jiwa manusia. Mulai dari kerinduan dan ketidakmampuan seorang insan.

Secara keseluruhan, kumpulan puisi ini tidak terlalu memerhatikan rima puisi (yang biasanya sangat diperhatikan dalam pembuatan puisi) namun cenderung bebas dan tidak terikat aturan. Diksi puisi yang dipilih cukup sederhana, pesan dan suasana yang tergambarkan kuat mampu menyiratkan makna bagi pembaca.

Yang menarik dari buku ini adalah adanya ilustrasi sureal yang menambah estetika buku ini dan berpadu indah dengan puisi-puisi yang ada. Adanya ilustrasi ini menonjolkan makna puisi yang terdapat di buku ini. Di beberapa puisi, tipografinya tidak biasa. Ada yang disusun terbalik, menyerupai tangga, huruf per huruf, bahkan berdempetan tanpa jarak.

Hal yang membuat saya tertarik adalah di akhir buku dijelaskan banyak sumber inspirasi pembuatan puisi. Referensi yang ditulis dijabarkan secara jelas mulai dari sumber kata yang dikutip hingga nama tokoh sebuah film yang dijadikan inspirasi dalam puisi buku ini. Bagian ini dapat menginspirasi penulis lainnya untuk memperluas referensi dari berbagai sumber tidak hanya buku, namun bisa melebar hingga film bahkan lagu.

Walaupun diksi yang dipilih sederhana, tidak semua makna puisi mampu dimengerti. Namun menurut saya itu tidak menjadi sebuah masalah, karena untuk saya yang terpenting adalah keindahan paduan kata yang ada pada setiap puisi di buku ini.

Buku yang cukup bagus untuk dinikmati, baik dari segi puisi ataupun ilustrasi pendukungnya. Walaupun kebanyakan bertemakan kesedihan, buku ini mampu menghantarkan kesedihan seperti simfoni yang indah dan membuat kita ingin terus mendengarnya, ditambah dengan ilustrasi sebagai instrumen pelengkap simfoni kata-kata di buku ini.

Resensi Bumi Manusia: Cinta dan Sejarah Beriringan

"... Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima."

Judul: Bumi Manusia (Pulau Buru #1)
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Halaman: 535 halaman
Cetakan ke: XIII
ISBN-13: 9789799731234

"Bumi Manusia" merupakan salah satu karya sastra lama Indonesia yang memiliki genre roman berbeda kepercayaan dan kebudayaan. Karya ini telah menerima banyak sekali penghargaan, bahkan telah diterbitkan dalam banyak bahasa asing. Seorang Pramoedya Ananta Toer mampu menuangkan pemikiran cemerlangnya dalam karya roman ini,  membawa pembaca ke zaman Belanda masih menguasai nusantara dengan menakjubkan.

Minke, pribumi. Bukan Indo ataupun Belanda. Nama keluarga pun ia tak mau mengakui. Tak seperti pribumi lainnya, ia berpikiran lebih maju karena pendidikan Eropa yang diterimanya.

Suatu hari yang ia kira akan menjadi hari yang biasa, ia bertemu cintanya di sebuah perusahaan milik seorang Nyai. Ialah Annelies, putri Nyai Ontosoroh. Kecantikan dan kelemahlembutannya mencuri hati Minke saat pertama bertemu. Seorang Annelies yang tak pernah bertemu pria yang menyebutnya cantik dan berani menciumnya saat pertama bertemu, juga jatuh hati.

Nyai Ontosoroh sejatinya adalah seorang pribumi. Dinikahi oleh seorang Belanda pun tak menggoyahkan jati dirinya sebagai pribumi. Belanda di matanya bukan musuh, namun bukan pula rumah untuk berpulang. Tuan Mellema, suaminya, yang awalnya sangat menyayanginya, mendidiknya hingga sukses menjadi Nyai besar dengan perusahaan gemilang, perlahan pergi. Kembali ke rumah pun dengan sosok yang tak dikenali lagi. Dari situlah ia tak ingin berurusan dengan lelaki Belanda lagi dan sangat menyetujui kedekatan Minke dengan Annelies. Putri kesayangannya itu perlu pendamping untuk menjaga jiwanya yang rapuh itu.

Minke pribumi, Annelies Belanda walaupun lahir dari rahim seorang pribumi. Kisah cinta mereka tidak mulus, stigma negatif seorang Nyai ikut melekat pada Minke yang sempat tinggal di rumah Nyai untuk menemani Annelies. Namun cinta adalah cinta, tak peduli keadaannya, mereka tetap berusaha.

Hingga pada saatnya ketidakadilan antara pengadilan putih Belanda ikut mencampuri urusan mereka-- dimulailah peperangan itu. Bukan lagi mereka yang melawan, pribumi yang tertindas pun ikut berperang. Menyerahkan segala upaya mereka untuk cinta Minke dan Annelies, juga untuk kebebasan pribumi yang sejati.

Hal paling menonjol dari buku ini adalah penggunaan bahasa yang masih kuno, masih khas, tanpa Ejaan Bahasa Indonesia. Hal ini membuat pembaca disodorkan dengan nuansa khas era masa lalu Indonesia. Namun di sisi lain, saya sebagai pembaca belia terkadang menemui makna yang tak dapat dimengerti karena penggunaan bahasa yang berbeda dari Bahasa Indonesia saat ini.

Untuk jalan cerita, pada bagian awal saya kurang menikmati karena banyak sekali hal yang dijelaskan secara detail. Saya mulai tergugah ketika sampai pada konflik utama ketika pengadilan putih memulai keputusan mereka untuk mengirim Annelies ke Belanda. Hingga pada akhir cerita, buku ini berhasil membuat saya cukup penasaran dengan cerita selanjutnya.

Para pecinta roman klasik, atau genre roman patut membaca buku ini. Buku ini memberikan sisi lain romansa dari roman-roman modern yang beredar di pasaran. Selain karena kisah cintanya yang cukup menggugah hati, unsur sejarah dalam buku ini juga dijelaskan secara detail hingga mampu membuat sebuah imajinasi jelas tentang latar yang diangkat. Untuk itu, pembaca buku ini harus mampu membaca secara kontekstual karena bahasa yang digunakan tentunya sedikit berbeda dengan Bahasa Indonesia pada umumnya.